Pintu Reformasi Peradilan Militer

 

Ilustrasi KPK


JAKARTA, Saksimata - Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, justru menilai putusan MK menegaskan bahwa pangkal masalah penanganan kasus koneksitas dugaan korupsi yang melibatkan prajurit TNI selama ini tidak terletak di persoalan hukum acara, namun pada UU Peradilan Militer yang bersifat absolut. 

Kewenangan absolut yang diatur dalam UU Peradilan Militer seharusnya segera dicabut sehingga tidak ada lagi keraguan soal siapa yang berhak menangani perkara melalui mekanisme koneksitas.

“Putusan ini justru jadi momentum reformasi peradilan militer secara menyeluruh. Tak jarang berbagai kasus korupsi yang melibatkan sipil-militer, mandeg di pengadilan militer seperti suap Bakamla dan pengadaan helikopter 2017,” ucap Alvin, Rabu (05/12/2024).

Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menilai putusan MK merupakan angin segar bagi KPK agar tidak lagi bersikap takut dan sungkan dalam mengusut perkara koneksitas yang melibatkan militer. 

Mundur ke belakang, ada kasus dugaan korupsi pengadaan alutsista yakni pengadaan pesawat Sukhoi pada 2003 silam, pengadaan helikopter AW 101, hingga kasus Bakamla, yang macet saat dilimpahkan di peradilan militer.

Menurut Julius, kasus-kasus di atas menemukan kesulitan dalam pengungkapannya karena adanya dalih rahasia negara serta sistem hukum yang eksklusif dalam UU Peradilan Militer. 

Berbagai peristiwa tersebut menjadi catatan kelam terhadap penyelesaian kasus hukum yang dilakukan prajurit aktif TNI. Maka putusan MK menjadi langkah awal bagi perubahan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

UU Peradilan Militer dinilai justru memberikan sistem hukum yang eksklusif kepada prajurit militer aktif terhadap tindak pidana yang dilakukan. Peradilan militer berpotensi melahirkan impunitas bagi prajurit yang melakukan perkara-perkara pidana. 

Pembentuk undang-undang harus merevisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sesuai amanat reformasi.

“Pemerintah perlu mengevaluasi penempatan prajurit aktif TNI di berbagai instansi sipil yang bertentangan dengan UU TNI untuk menghindari permasalahan terkait penindakan hukum di balik UU Peradilan Militer,” ujar Julius kepada reporter Tirto, Rabu.

Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, melihat penanganan korupsi di lingkungan militer sering menghadapi kendala besar sebab peradilan militer yang cenderung lebih tertutup. 

Meskipun ada upaya pemberantasan korupsi di tubuh TNI, hasilnya masih terbatas, dan kasus-kasus besar sering kali sulit untuk diproses secara lebih terbuka.

Dengan putusan MK, kata dia, akan memperkuat kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi yang melibatkan militer. Namun, potensi benturan kewenangan masih tetap terbuka. 

Pasalnya, kewenangan KPK selama ini dihadapkan pada tantangan mekanisme peradilan militer yang sudah ada. Hal itu diatur dalam KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981) dan UU Peradilan Militer.

“KUHAP memang mengatur mekanisme koneksitas, termasuk penyidikan tim gabungan sipil dan militer serta penentuan yurisdiksi pengadilan berdasarkan dampak kerugian. Meskipun demikian, implementasi hukum acara koneksitas sering terhambat, terutama dalam kasus korupsi,” jelas Fahmi kepada reporter Tirto, Rabu.

TNI sebagai institusi yang berperan dalam menjaga kedaulatan negara, perlu kooperatif dan proaktif dalam mengimplementasikan putusan MK. TNI tidak cuma diharapkan dapat patuhi putusan MK, tetapi turut menyesuaikan regulasi internal agar dapat bekerja sama dengan KPK dengan lebih baik. 

Penyesuaian juga akan melibatkan Kementerian Pertahanan, sebab berperan penting dalam perumusan kebijakan dan regulasi terkait pertahanan negara.

Hal ini mencakup aspek akses dokumen, saksi, dan bukti yang diperlukan oleh KPK. Serta pelatihan hukum acara koneksitas bagi personel TNI. Transparansi dan akuntabilitas akan menjadi kunci TNI dapat menjaga integritas sekaligus mendukung tugas utamanya.

Dengan kerja sama yang solid antara KPK, TNI, dan Kejaksaan Agung, momen ini menjadi peluang besar membersihkan tubuh militer dari praktik korupsi yang berpotensi melemahkan integritas dan kinerja institusi TNI. 

Sebaliknya, KPK perlu menghormati mekanisme internal militer yang ada dan bekerja secara hati-hati dalam menjalin komunikasi.

Fahmi menilai, putusan MK bisa menjadi yurisprudensi yang mendorong revisi UU Peradilan Militer. Padahal, UU Peradilan Militer yang ada saat ini memiliki mekanisme terbatas dalam hal transparansi dan akuntabilitas, terutama dalam menangani kasus besar yang melibatkan prajurit militer. 

Dengan semakin diperjelasnya kewenangan KPK dalam menangani korupsi yang melibatkan prajurit, momen ini adalah titik balik reformasi sistem peradilan militer.

“Jika semua pihak bisa saling mendukung, putusan ini bukan hanya memperkuat integritas penegakan hukum, tetapi juga memperbaiki citra TNI,” pungkas Fahmi.(Red)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak