Dugaan Manipulasi Hukum dalam Kasus Notaris Dadang Koesboediwitjaksono: Dari Kasus Ringan Menjadi Tuntutan Tiga Tahun Penjara



SURABAYA, Saksimata - Proses hukum yang melibatkan Notaris Dadang Koesboediwitjaksono kini menjadi perhatian publik. Kasus yang awalnya dianggap sebagai perkara ringan dengan perkiraan tuntutan enam bulan penjara, tiba-tiba mengalami perubahan drastis dengan tuntutan tiga tahun penjara yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Deddy Arisandi dari Kejaksaan Negeri Surabaya. Perubahan yang mencolok ini menimbulkan banyak pertanyaan, terutama setelah muncul dugaan adanya komunikasi tertutup antara JPU dan pelapor sebelum persidangan berlangsung.



Kasus ini berawal dari laporan Tuhfatul Mursala yang menuduh Notaris Dadang Koesboediwitjaksono telah melakukan pemalsuan tanda tangan dalam Akta Notaris Nomor 34 dan 63 Tahun 2011. Tuduhan tersebut kemudian diproses di Polrestabes Surabaya. Namun, dalam tahap penyelidikan, penyidik menyatakan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan secara langsung dalam kasus ini.

Saat berkas perkara dilimpahkan dari Polrestabes Surabaya ke Kejaksaan, terdakwa bahkan mendapatkan informasi bahwa tuntutan yang akan diajukan terhadapnya diperkirakan hanya sekitar enam bulan. Hal ini menunjukkan bahwa kasus tersebut tidak mengandung unsur pidana yang serius.

Namun, situasi berubah ketika kasus ini mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya. Terdakwa didakwa berdasarkan Surat Dakwaan Nomor: 57/Pid.B/2025/PN Sby dengan tuduhan melanggar Pasal 264 ayat (1) KUHP mengenai pemalsuan surat.

Sidang yang berlangsung pada (25/2/25) kembali memunculkan kecurigaan mengenai adanya manipulasi hukum. Dalam sidang tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan dua saksi, tetapi hanya satu saksi yang hadir, yaitu Dwi Hariyanto, S.H., dari Perumnas.

Yang menarik perhatian adalah, sebelum sidang dimulai, JPU Deddy Arisandi terlihat mengarahkan dua saksi, termasuk pelapor Tuhfatul Mursala, untuk masuk ke ruang jaksa di Pengadilan Negeri Surabaya. Momen ini berhasil diabadikan oleh beberapa media yang berada di lokasi. Belum ada informasi mengenai apa yang dibahas dalam pertemuan tertutup tersebut, namun tindakan ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada upaya untuk memengaruhi proses persidangan.

Sidang yang diadakan pada (20/3/25) semakin memperkuat dugaan adanya intervensi dalam kasus ini.

Dalam persidangan tersebut, Jaksa Penuntut Umum Deddy Arisandi membacakan tuntutan yang jauh lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya, yaitu tiga tahun penjara.

Pernyataan ini langsung dipertanyakan oleh terdakwa.

"Namun, mengapa dalam tuntutan yang dibacakan kemarin, Jaksa Penuntut Umum menuntut saya dengan hukuman tiga tahun penjara? Apa yang terjadi dengan Jaksa Penuntut Umum? Ketika berkas saya dilimpahkan dari Polrestabes ke Kejaksaan, saya diberitahu bahwa estimasi tuntutannya sekitar enam bulan, karena ini adalah perkara yang sangat ringan," ungkap Dadang Koesboediwitjaksono dalam pembelaannya di hadapan majelis hakim.

Tuntutan yang tidak sejalan dengan bobot kasus ini menimbulkan banyak pertanyaan. Mengapa Jaksa Penuntut Umum yang sebelumnya menganggap kasus ini ringan, tiba-tiba mengajukan tuntutan yang jauh lebih berat?

Lebih jauh, fakta-fakta yang terungkap di persidangan menunjukkan adanya banyak kejanggalan dalam kasus ini.

Tuhfatul Mursala tidak dapat membuktikan adanya kerugian langsung yang dialaminya akibat tindakan terdakwa.

Sebelumnya, penyidik Polrestabes Surabaya juga menyatakan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan dalam kasus ini.

Tuduhan mengenai pemalsuan tanda tangan almarhum KH. Abd. Sattar Madjid dan almarhum H. Abd. Faqih dalam Akta Notaris Nomor 34 dan 63 Tahun 2011 tidak didukung oleh bukti yang kuat.

Pelapor mengacu pada Penetapan Ahli Waris Nomor 1416/Pdt.P/2017/PA.Sby dari Pengadilan Agama Surabaya sebagai dasar laporan.

Namun, penetapan tersebut telah dibatalkan oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 365 K/Ag/2021, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum.

Saksi ahli di bidang pidana dan kenotariatan yang dihadirkan dalam persidangan menegaskan bahwa kasus ini lebih bersifat administratif.

Kesalahan yang dilakukan oleh seorang notaris dalam penyusunan akta seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata atau sesuai dengan kode etik, bukan melalui tuntutan pidana.

Dengan berbagai kejanggalan yang ada, masyarakat semakin mempertanyakan kemungkinan adanya permainan di balik kasus ini. Perubahan tuntutan yang awalnya diperkirakan ringan menjadi tiga tahun penjara, ditambah dengan pertemuan rahasia antara Jaksa Penuntut Umum dan pelapor sebelum sidang, semakin memperkuat spekulasi mengenai adanya kepentingan tertentu dalam kasus ini.

Saat ini, keputusan berada di tangan majelis hakim. Apakah mereka akan mempertimbangkan semua fakta yang terungkap selama persidangan dan memberikan putusan yang adil bagi terdakwa? Sidang lanjutan dengan agenda pembacaan putusan dijadwalkan berlangsung minggu ini, dan akan menjadi penentu apakah kasus ini benar-benar merupakan penegakan hukum yang murni atau ada kepentingan lain yang terlibat di baliknya. (Budi.R)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak