Diduga Janjikan Tuntutan 6 Bulan, Kenyataannya Dituntut 3 Tahun dalam Persidangan Kasus Dugaan Pemalsuan Akta Otentik



SURABAYA, Saksimata - Dalam sidang lanjutan kasus dugaan pemalsuan akta otentik dengan nomor perkara 56/Pid.B/2025/PN.Sby, Terdakwa R. Dadang Koesboedi Witjaksono, S.H., menghadiri sidang yang beragendakan pembacaan Pledoi di Pengadilan Negeri Surabaya pada Kamis (20/3/2025).

Setelah Penasehat Hukum Terdakwa membacakan Pledoi, Terdakwa R. Dadang Koesboedi Witjaksono, S.H., diberikan kesempatan untuk menyampaikan pembelaannya. Dalam kesempatan tersebut, Terdakwa mempertanyakan ketidaksesuaian tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Terdakwa R. Dadang Koesboedi Witjaksono mengungkapkan bahwa pada awal proses penyelidikan di Polrestabes Surabaya, penyidik sempat menyatakan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan dalam kasus ini.

Namun, proses tetap berjalan saat perkara memasuki Tahap II di Kejaksaan. Di sini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Surabaya menyatakan bahwa kasus yang menimpa dirinya tergolong ringan, dengan estimasi tuntutan sekitar enam bulan, ungkapnya di persidangan.


"Namun, mengapa dalam tuntutan yang dibacakan kemarin, Penuntut Umum, Dedy Arisandi, SH., MH., menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara kepada saya? Apa yang terjadi dengan Penuntut Umum?" tanya R. Dadang di hadapan Majelis Hakim.


Pernyataan ini memunculkan pertanyaan di ruang sidang mengenai dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh JPU dalam menetapkan tuntutan yang jauh lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya.


Dalam persidangan, terungkap bahwa Tuhfatul Mursalah diduga memberikan keterangan yang tidak benar dalam PAW yang dijadikan sebagai bukti. PAW tersebut menyatakan bahwa empat saudara kandungnya, yaitu Hanifah Binti Abdul Madjid Ilyas, Abdullah Afief Bin Abdul Madjid Ilyas, Abdullah Faqih Bin Abdul Madjid Ilyas, dan Abdullah Sattar Bin Abdul Madjid Ilyas, tidak pernah menikah dan tidak memiliki anak selama hidup mereka.


Keterangan ini dianggap tidak sesuai dengan kenyataan dan diduga bertujuan untuk menghilangkan hak ahli waris lainnya.


PAW tersebut selanjutnya dijadikan landasan oleh Tuhfatul Mursalah untuk mengklaim aset yang terletak di Jalan Manukan Lor. Namun, dalam pledoi yang disampaikan oleh kuasa hukum terdakwa, Budiyanto, S.H., dinyatakan bahwa tanah dan bangunan tersebut adalah aset Perum Perumnas yang telah dikelola oleh Yayasan Pendidikan Dorowati sejak tahun 1982, yang kemudian diteruskan oleh Yayasan Pendidikan Dorowati Surabaya, dan bukan merupakan objek warisan.

Dalam persidangan, terungkap bahwa pelapor tidak pernah terdaftar sebagai pengurus yayasan sejak yayasan tersebut didirikan. Usahanya untuk mengambil alih pengelolaan lahan melalui somasi kepada Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Perum Perumnas, dan BPN Surabaya tidak membuahkan hasil, sehingga ia memutuskan untuk menempuh jalur hukum dengan melaporkan terdakwa ke kepolisian.

Kuasa hukum terdakwa menegaskan bahwa kliennya, seorang notaris, tidak memiliki niat jahat dalam pembuatan akta pendirian yayasan yang menjadi sengketa. Mereka juga menekankan bahwa kesalahan administratif dalam pembuatan akta seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata atau kode etik notaris, bukan melalui jalur pidana.

Majelis Hakim juga mempertimbangkan putusan Mahkamah Agung sebelumnya yang telah membatalkan PAW pelapor karena adanya keterangan palsu. Dengan tidak terpenuhinya unsur pidana, kuasa hukum terdakwa meminta agar kliennya dibebaskan dari segala tuntutan hukum.

Persidangan yang dimulai pada 15 Januari 2025 ini menarik perhatian publik karena berkaitan dengan sengketa aset pendidikan di Surabaya. Majelis Hakim dijadwalkan untuk membacakan putusan dalam waktu dekat, yang akan mempengaruhi nasib hukum terdakwa dalam kasus ini. (Budi.R)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak